Selasa, 05 Agustus 2014

SULFONAMID

BAB I
PENDAHULUAN

1.1       Pendahuluan
Siapa menyangka bahwa obat antibakteri pertama di dunia ternyata berasal darisenyawa yang mulanya digunakan sebagai zat pewarna? Pada tahun 1932, Gerhard Domagk menemukan bahwa sebuah zat pewarna merah ternyata mampu melindungi tikus dan kelinciterhadap dosis letal stafilokokus. Zat tersebut adalah Prontosil yang merupakan turunan darisulfanilamid ( p- aminobenzenesulphonamide ) yang telah berhasil disintesis oleh seorang ahlikimia, Paul Gelmo pada 1908. Royston M Roberts dalam bukunya Serendipity memasukkankisah penemuan sulfanamid sebagai salah satu ketidaksengajaan dalam penemuan bidangsains.Diketahui kemudian ternyata Prontosil dimetabolisme di dalam tubuh menjadisulfanilamid ( para-aminophenylsulfonamide ) , sebuah molekul yang lebih sederhana dan tak  berwarna. Ternyata molekul Prontosil terdiri dari dua bagian, triaminobenzen, yang memberiwarna merah, dan p-aminobenzen sulfonamid, yang kemudian dikenal dengan namasulfanilamid, yang merupakan komponen aktif yang memiliki efek terapeutik.
Penggunaan obat sulfa sangat pesat pada masa Perang Dunia kedua.Pada saat itu,setiap prajurit Amerika dilengkapi kotak P3K yang berisi bubuk sulfa dan perban untuk merawat luka. Mereka diajari untuk menaburkan bubuk sulfa segera pada setiap luka terbukauntuk mencegah infeksi. Seperti diungkap Domagk pada pidato Nobelnya, tentara Amerikakehilangan 8,25 % dari prajurit yang terluka hingga meninggal dunia pada Perang Dunia pertama. Setelah sulfonamid digunakan pada Perang Dunia kedua, hanya 4,5 % yangmeninggal akibat luka. Kisah sukses sulfonamid antara lain dalam perannya melawan meningitis epidemica , hasil penelitian menunjukkan bahwa 90 - 95% pasien yang menderita\ meningitis epidemica dapat pulih dengan pemberian oral sulfonamid. Pada tentara Amerika, jumlah kasus fatal prajurit yang menderita meningitis epidemica turun dari 39,2 % padaPerang Dunia pertama menjadi 3% pada Perang Dunia kedua karena peran sulfonamid.








BAB II
PEMBAHASAN

2.1       Pembahasan Sulfonamid
Sulfonamida adalah kemoterapeutik yang pertama digunakan secara sistemik untuk pengobatan dan pencegahan penyakit infeksi pada manusia. Sulfonamida merupakan kelompok obat penting pada penanganan infeksi saluran kemih (ISK). Penggunaan sulfonamide kemudian terdesak oleh antibiuotik. Pertengahan tahun 1970 penemuankegunaan sedian kombinasi trimetoprim dan sulfametoksazol meningkatkan kembali penggunaan sulfonamide untuk pengobatan penyakit infeksi tertentu Sulfonamid merupakan kelompok zat antibakteri dengan rumus dasar yangsama, yaitu H2N-C6H4-SO2 NHR dan R adalah bermacam-macam substituen. Pada prinsipnya, senyawa-senyawa ini digunakan untuk menghadapi berbagai infeksi.Namun, setelah ditemukan zat-zat antibiotika, sejak tahun 1980an indikasi dan penggunaannya semakin bekurang.
Meskipun demikian, dari sudut sejarah, senyawa-senyawa ini penting karena merupakan kelompok obat pertama yang digunakan secara efektif terhadap infeksi bakteriSelain sebagai kemoterapeutika, senyawa-senyawa sulfonamide juga digunakan sebagai diuretika dan antiodiabetika oral. Perkembangan sejarah, padatahun 1935, Domank telah menemukan bahwa suatu zat warna merah, brontosilrubrum, bersifat bakterisidin vivo tetapi inektif in vitro . Ternyata zat ini dalam tubuh dipecah menjadi sulfanilamide yang juga aktif  in vitro. Berdasarkan penemuan ini kemudian disintesa sulfapiridin yaitu obat pertama yang digunakan secara sistemisuntuk pengobatan radang paru (1937).
Dalam waktu singkat obat ini diganti oleh sulfathiazole (Cobazol) yang kurang toksik (1939), disusul pula oleh sulfaniazine , sulfmetoksazole, dan turunan-turunan lainnya yang lebih aman lagi. Setelah diintroduksi derivate-derivat yang sukar resorbsinya dari usus (sulfaguanidin danlain-lain), akhirnya disintesa sulfa dengan efek panjang, antara lain sulfa dimetoksil (Madribon), sulfametoksipiridazine (Laderkyn), dan sulfalen Sulfonamida bersifat amfoter, artinya dapat membentuk garam dengan asam maupun dengan basa. Daya larutnya dalam air sangat kecil garam alkalinya lebih baik, walaupun larutan ini tidak stabil karena mudah terurai
Sulfonamide berbentuk Kristal putih yang umumnya sukar larut dalam air,tetapi garam natriumnya mudah larut rumus dasarya adalah :
http://htmlimg2.scribdassets.com/f0ioufmtc11vney/images/3-09a2cc0f38.jpg
Berbagai variasi radikal R pada gugus amida (-SO2NHR) dan substitusi gugus amino (NH2) menyebabkan perubahan sifat fisik, kimia dan daya anti bakteri sulfonamid Sulfonamid mempunyai spectrum antibakteri yang luas, meskipun kurangkuat dibandingkan dengan antibiotik dan strain mikroba yang resisten semakin meningkat. Golongan obat ini umumnya hanya bersifat bakteriostatik, namun padakadar yang tinggi dalam urin, sulfonamide dapat bersifat bakterisid
2.1.2    Mekanisme Aksi
Struktur dari Sulfonamid mirip dengan p-aminobenzoic acid (PABA) yang merupakan prekursor DHF. Mekanisme kerja dari sulfonamide adalah sebagai substrat palsu dimana sulfonamide berkompetisi dengan PABA pada sintesisDHF . Karenanya efeknya berupa bakteriostatik yang menghambat pertumbuhan dan replikasi bakteri. Bakteri memerlukan PABA (p-aminobenzoicacid) untuk membentuk asamfolat yang digunakan untuk sitesis purin dan asam-asam nukleat. Sulfonamide merupakan penghambat kompetitif PABA Sulfonamide, berkompetisi dengan PABA Dihidropteroat sintetase Asam dihidrofolat Trimetropim Dihidrofolat reduktase Asam tetrahidrofolat Purin DNA
Mekanisme kerjanya berdasarkan sintesis dihidro folat dalam bakteri dengan cara antagonisme saingan dengan PABA. Banyak jenis bakteri membutuhkan asam folat untuk membangun asam-asam intinya DNA dan RNA. Asam folat ini dibentuknya sendiri dari bahan pangkal PABA (para-aminobenzoicacid) yangterdapat dimana-mana dalam tubuh manusia. Rumus PABA menyerupai rumus dasar sulfonamide. Bakteri keliru menggunakan sulfa sebagai bahan untuk mensintesaasam folatnya, sehingga DNA / RNA tidak terbentuk lagi sehingga pertumbuhan bakteri terhenti.Sel-sel mamalia tidak dipengaruhi oleh sulfonamide karena mamalia dan beberapa bakteri tidak membuatasam folat sendiri, tetapi menerimanya dalam bentuk jadi yaitu dalam bentuk makanan, sehingga tidak mengalami gangguan pada metabolismenya. Dalam nanahterdapat banyak PABA, sehingga efek sulfonamide dihambat oleh adanya nanah dan jaringan nekrotik, karena kebutuhan mikroba akan asam folat berkurang dalam mediayang mengandung basa purin dan timidin.
2.1.3    Hubungan Strukrur dan Aktivitas
Sulfonamida adalah senyawa organik yang mengandung SO dan NH sulfonamidemerupakan analog structural asam para amino benzeneacid yang sangat pentinguntuk sintesis asam folat pada bakteri
a)      Guguss amino primer aromatis (NH2) sangat penting untuk aktvitas, jika gugus ini tersubstitusi maka sulfonamid tidak aktif.
b)      Cincin benzene di ganti senyawa tidak aktif 
c)      Substitusi pada cincin Benzene menurunkan aktif SO2-C6H4-(P) NH2
d)     tetap aktif CONH-C6H4-(p)NH2 atau CO-C6H4-(p)NH2 aktivitas turun


2.1.4    Sulfonamid Sebagai Produk Tunggal dan Kombinasi
Sulfonamide bekerja dengan bertindak sebagai inhibitor kompetitif terhadap enzim dihidropteroate sintetase (DHPS). Dengan dihambatnya enzim DHPS ini menyebabkan tidak terbentuknya asam tetrahidrofolat bagi bakteri.
Tetrahidrofolat merupakan bentuk aktif asam folat, di mana fungsinya adalah untuk berbagai peran biologis di antaranya dalam produksi dan pemeliharaan selserta sintesis DNA dan protein.Biasanya Sulfonamide digunakan untuk penyakit Neiserria meningitis.
2.1.5    Kombinasi Dengan Trimetropim
Senyawa yang memperlihatkan efek sinergistik paling kuat bila digunakan besama sulfonamide ialah trimetropim. Senyawa ini merupakan senyawa penghambat enzim dihidrofolat reduktase yang kuat dan selektif. Enzim ini berfungsi mereduksi asam dihidrofolat menjadi asam tetrahidrofolat, jadi pemberian sulfonamid bersama trimetropim menyebabkan hambatan berangkai dalam reaksi pembentukan asam tetrahidrofolat Kontrimoksazole adalah suatu kombinasi dari sulfonametoksazol + trimetoprim dalam perbandingan 5:1 (400 : 80 mg). yang terakhir adalah suatu obat malaria dengan spectrum kerja antibakteri yang mirip sulfa dan efektif terhadap sebagian besar kuman Gram-positif dan Gram-negatif. Walaupun kedua komponen masing-masing hanya bersifat bakteriostatik, kombinasinya berkhasiat bakterisid terhadap bakteri yang sama juga terhadap Salmonella ,proteus, dan H. influenza.
Pada umumnya kombinasi dari sulfonamide + trometoprim memperkuat khasiatnya (potensial) serta menurunkan resiko resistensi dengan kuat. Kombinasi trimertoprim dan sulfa lain dengan sifat-sifat dan penggunaan sama dengan kontrimoksazole adalah
1.      Supristol = sulfamoxol 200 mg + trimetoprim 40 mg
2.      Kelfprim = sulfalen 200 mg + trimetoprim 250 mg
3.      Lidatrim = sulfametrol 400 mg + trimetoprim 80 mg
Mekanisme kerjanya berdasarkan teori sequential blockade dari Hitchings (1966), yakni bila dua obat bekerja terhadap dua titik berturut-turut dari suatu prosesenzim bakteri, maka efeknya adalah potensial. Keuntungan penting lain darikombinasi ini adalah timbulnya resistensi lebih lambat dari pada komponen-komponennya sendiri. Hal ini adalah jelas, karena bakteri yang menjadi resistenuntuk salah satu komponen masih dapat dimusnahkan oleh yang lain.
2.1.6    Pemakaian
1.      Kemoterapeutikum : Sulfadiazin, Sulfathiazol
2.      Antidiabetikum : Nadisa, Restinon.
3.      Desibfektan saluran air kencing : Thidiour
4.      Diuretikum : Diamox

2.1.7    Sifat – sifat
1.      Bersifat ampoter, karena itu sukar di pindahkan dengan acara pengocokan yang digunakan dalam analisa organik.
2.      Mudah larut dalam aseton, kecuali Sulfasuksidin, Ftalazol dan Elkosin

2.1.8    Kelarutan
1.      Umumnya tidak melarut dalam air, tapi adakalanya akan larut dalam air anas. Elkosin biasanya larut dalam air panas dan dingin.
2.      Tidak larut dalam eter, kloroform, petroleum eter.
3.      Larut baik dalam aseton.
4.      Sulfa – sulfa yang mempunyai gugus amin aromatik tidak bebas akan mudah larut dalam HCl encer. Irgamid dan Irgafon tidak lariut dalam HCl encer.
5.      Sulfa – sulfa dengan gugusan aromatik sekunder sukar larut dalam HCl, misalnya septazin, soluseptazin, sulfasuksidin larut dalam HCl, akan tetapi larut dalam NaOH.
6.      Sulfa dengan gugusan –SO2NHR akan terhidrolisis bila dimasak dengan asam kuat HCl atau HNO3.
Sulfanamida adalah anti mikroba yang digunakan secara sistemis maupun topikal untuk beberapa penyakit infeksi. Sebelum ditemukan antibiotik, sulfa merupakan kemoterapi yang utama, tetapi kemudian penggunaannya terdesak oleh antibiotik. Pertengahan tahun 1970 penemuan preparat kombinasi trimetoprim dan sulfametoksazol meningkatkan kembali penggunaan sulfonamida. Selain sebagai kemoterapi derivat sulfonamida juga berguna sebagai diuretik dan anti diabetik oral (ADO). Sulfa bersifat bakteriostatik luas terhadap banyak bakteri gram positif dan negatif. Mekanisme kerjanya berdasarkan antagonisme saingan antara PABA (Para Amino Benzoic Acid) yang rumus dasarnya mirip dengan rumus dasar sulfa : H2N – C6H4 – COOH
2.1.9    Mekanisme Kerja
Kuman memerlukan PABA (p-aminobenzoic acid) untuk membentuk asam folat yang di gunakan untuk sintesis purin dan asam nukleat. Sulfonamid merupakan penghambat kompetitif PABA. Efek antibakteri sulfonamide di hambat oleh adanya darah, nanah dan jaringan nekrotik, karena kebutuhan mikroba akan asam folat berkurang dalam media yang mengandung basa purin dan timidin.
Sel-sel mamalia tidak dipengaruhi oleh sulfanamid karena menggunakan folat jadi yang terdapat dalam makanan (tidak mensintesis sendiri senyawa tersebut). Dalam proses sintesis asam folat, bila PABA di gantikan oleh sulfonamide, maka akan terbentuk analog asam folat yang tidak fungsional.


2.1.10  Farmakokinetik
A.   Absorpsi
Absorpsi melalui saluran cerna mudah dan cepat, kecuali beberapa macam sulfonamide yang khusus digunakan untuk infeksi local pada usus. Kira-kira 70-100% dosis oral sulfonamide di absorpsi melalui saluran cerna dan dapat di temukan dalam urin 30 menit setelah pemberian. Absorpsi terutama terjadi pada usus halus, tetapi beberapa jenis sulfa dapat di absorpsi melalui lambung.
B.    Distribusi
Semua sulfonamide terikat pada protein plasma terutama albumin dalam derajat yang berbeda-beda. Obat ini tersebar ke seluruh jaringan tubuh, karenaitu berguna untuk infeksi sistemik. Dalam cairan tubuh kadar obat bentuk bebas mencapai 50-80 % kadar dalam darah.
C.   Metabolisme
Dalam tubuh, sulfa mengalami asetilasi dan oksidasi. Hasil inilah yang sering menyebabkan reaksi toksik sistemik berupa lesi pada kulit dan gejala hipersensitivitas, sedangkan hasil asetilasi menyebabkan hilangnya aktivitas obat.
D.   Ekskresi
Hampir semua di ekskresi melalui ginjal, baik dalam bentuk asetil maupun bentuk bebas. Masa paruh sulfonamide tergantung pada keadaan fungsi ginjal. Sebagian kecil diekskresikan melalui tinja, empedu, dan air susu ibu.
2.1.11  Klasifikasi Sediaan
Berdasarkan kecepatan absorpsi dan eksresinya, sulfonamide dibagi menjadi:
1.      Sulfonamid dengan absorpsi dan eksresi cepat, antara lain : sulfadiazine dan sulfisoksazol.
2.      Sulfonamid yang hanya diabsorpsi sedikit bila diberikan per oral dank arena itu kerjanya dalam lumen usus, antara lain : ftalilsulfatiazol dan sulfasalazin.
3.      Sulfonamid yang terutama digunakan untuk pemberian topical antara lain : sulfasetamid, mefenid, dan Ag-sulfadiazin.
4.      Sulfonamid dengan masa kerja panjang, seperti sulfadoksin, absorpsinya cepat dan eksresinya lambat.
2.1.12  Efek samping
        Efek samping sering timbul (sekitar 5%) pada pasien yang mendapat sulfonamide. Reaksi ini dapat hebat dan kadang-kadang bersifat fatal. Efek samping yang terpenting adalah kerusakan pada sel-sel darah yang berupa agranulositosis, anemia aplastis dan hemolitik. Efek samping yang lain ialah reaksi alergi, gangguan system hematopoetik, dan gangguan pada saluran kemih dengan terjadinya kristal uria yaitu menghablurnya sulfa di dalam tubuli ginjal.
2.1.13  Interaksi obat
Sulfonamid dapat berinteraksi dengan antikoagulan oral, anti diabetik sulfonylurea dan fenitoin. Penggunaan sulfonamide sebagai obat pilihan pertama dan untuk pengobatan penyakit infeksi tertentu makin terdesak oleh perkembangan obat antimikroba lain yang lebih efektif serta meningkatkan jumlah mikroba yang resisten terhadap sulfa. Namun peranannya meningkat kembali dengan di temukannya kotrimoksazol. Penggunaan topical tidak dianjurkan karena kurang / tidak efektif, sedangkan risiko terjaadinya reaksi sensitisasi tinggi, kecuali pemakaian local daro Na-sulfasetamid pada infeksi mata.
2.1.14  Disinfektan Saluran Kemih
Desinfektan saluran kemih atau yang biasa di sebut Infeksi saluran kemih (ISK) hampir selalu diakibatkan oleh bakteri aerob dari flora usus. Penyebab infeksi bagian bawah atau cystitis ( radang kandung) adalah pertama kuman gram negative. Pada umumnya, seseorang dianggap menderita ISK bila terdapat lebih dari 100.000 kuman dalam 1 ml urine.
Antara usia lebih kurang 15 dan 60 tahun jauh lebih banyak wanita dari pada pria menderita ISK bagian bawah, dengan perbandingan Ca dua kali sekitar pubertas dan lebih dari 10 kali pada usia 60 tahun. Pada wanita, uretranya hanya pendek (2 -3 cm), sehingga kandung kemih mudah dicapai oleh kuman – kuman dari dubur melalui perineum, khususnya pada basil- basil E.coli. Pada pria disamping uretranya lebih panjang (15-18 cm), cairan prostatnya juga memiliki sifat – sifat bakterisid sehingga menjadi pelindung terhadap infeksi oleh kuman-kuman patogen.
Sebagai kemoterapuetikum dalam resep, biasanya sulfa dikombinasikan dengan natrium bikarbonat atau natrium sitras untuk mendapatkan suasana alkalis, karena jika tidak dalam suasana alkalis maka sulfa-sulfa akan menghablur dalam saluran air kecing, hal ini akan menimbulkan iritasi yang cukup mengerikan. Tapi tidak semua sulfa dikombinasikan dengan natrium bikarbonat atau natrium sitrat. Misalnya Trisulfa dan Elkosin. Hal ini karena pH-nya sudah alkalis, maka kristal urea dapat dihindari. Sulfonamida berupa kristal putih yang umumnya sukar larut dalam air, tetapi garam natriumnya mudah larut. Rumus dasarnya adalah sulfanilamide. Berbagai variasi radikal R pada gugus amida (-SO2NHR) dan substitusi gugus amino (NH2) menyebabkan perubahan sifat fisik, kimia dan daya antibaktreri sulfonamida.
Berbagai obat antimikroba tidak dapat digunakan untuk mengobati infeksi sistemik yang berasal dari saluran kemih karena bioavailabilitasnya dalam plasma tidak mencukupi. Untuk infeksi akut saluran kemih disertai tanda-tanda sistemik seperti demam, menggigil, hipotensi dan lain-lain, obat antiseptic saluran kemih tidak dapat digunakan karena pada keadaan tersebut diperlukan obat dengan kadar efektif dalam plasma. Sementara menunggu hasil laboratorium, dapt diberikan obat golongan aminoglikosid misalnya gentamisin, atau sulfonamide, kotrimoksazol, ampisilin, sefalosporin, fluorokuinolon. Dengan pemberikan selama 5-10 hari, biasanya infeksi akut dapat diredakan dan selanjutnya diberikan antiseptic saluran kemih sebagai pengobatan profilaksis atau supresif.
2.1.15  Preventif Infeksi Saluran Kemih
     Agar terhindar dari penyakit infeksi saluran kemih, dapat dilakukan hal-hal berikut:
1.      Menjaga dengan baik kebersihan sekitar organ intim dan saluran kemih.
2.      Bagi perempuan, membersihkan organ intim dengan sabun khusus yang memiliki pH balanced (seimbang) sebab membersihkan dengan air saja tidak cukup bersih.
3.      Pilih toilet umum dengan toilet jongkok. Sebab toilet jongkok tidak menyentuh langsung permukaan toilet dan lebih higienis. Jika terpaksa menggunakan toilet duduk, sebelum menggunakannya sebaiknya bersihkan dahulu pinggiran atau dudukan toilet. Toilet-toilet umum yang baik biasanya sudah menyediakan tisu dan cairan pembersih dudukan toilet.
4.      Jangan membersihkan organ intim di toilet umum dari air yang ditampung di bak mandi atau ember. Pakailah shower atau keran.
5.      Gunakan pakaian dalam dari bahan katun yang menyerap keringat agar tidak lembab.
2.1.16  Sulfonamid yang hanya diabsorsi sedikit oleh saluran cerna
a)      Sulfasalazin
Obat ini digunakan untuk pengobatan kolitis ulseratif dan enteritis regional dan remotoid artritis. Sulfasalazin dalam usus diuraikan menjadi sulfapiridin yang diabsorpsi dan ekskresi melalui urin,dan 5-aminosalisilat yang mempunyai efek antiinflamasi. Reaksi toksik yang terjadi antara lain Heinz body anemia, hemolisis akut pada pasien defisiensi G6PD , dan agranulositosis. Mual,demam dan artralgia serta ruam kulit terjadi pada 20 % pasien dan desensitisasi dapat mengurangi angka kejadian. Dosis awal ialah 0,5 g sehari yang ditingkatkan sampai 2-6 g sehari. Sulfasalazin tersedia dalam bentuk tablet 500 mg dan bentuk suspense 50 mg/ml.
b)     Suksinilsulfatiazol Dan Ftalilsulfatiazol
Dalam kolon,kedua sulfa ini dihidrolisis oleh bakteri usus menjadi sulfatiazol yang berkhasiat antibakteri dan hampir tidak diabsorpsi oleh usus.Kedua obat ini tidak lagi dianjurkan penggunaannya karena tebukti tidak efektif untuk enteritis.
2.1.17  Sulfonamid untuk Penggunaan Topikal
a)      Sulfasetamid
Natrium sulfasetamid digunakan secara topical untuk infeksi mata.Kadar tinggi dalam larutan 30% tidak mengiritasi jaringan mata,karena pHnya netral (7,4),dan bersifat bakterisid.Obat ini dapat menembus kedalam cairan dan jaringan mata mencapai kadar yang tinggi sehingga sangat baik untuk kongjungtivitis akut maupun kronik. Meskipun jarang menimbulkan reaksi sentisitisasi,obat ini tidak boleh di berikan pada pasien yang hipersensitif terhadap sulfonamid.
Obat ini tersedia dalam bentuk salep mata 10% atau tetes mata 30%.Pada infeksi kronik diberikan 1-2 tetes setiap 2 jam untuk infeksi yang berat atau 3-4 kali sehari untuk penyakit kronik.
b)     Ag-Sulfadiazin (Sulfadiazin-Perak)
In vitro obat ini menghambat pertumbuhan bakteri dan jamur termasuk spesies yang telah resisten terhadap sulfonamid. Ag-sulfadiazin digunakan untuk mengurangi jumlah koloni mikroba dan mencegah infeksi luka bakar. Obat ini tidak dianjurkan untuk pengobatan luka yang besar dan dalam.Ag dilepaskan secara perlahan sampai mencapai kadar toksik yang selektif untuk mikroba.Namun mikroba dapat menjadi resistin terhadap obat ini.Ag hanya sedikit diserap tetapi sulfadiazin dapa mancapai kadar terapi bila permukaan yang diolesi cukup luas.Walaupun jarang terjadi,efek samping dapat timbul dalam bentuk rasa terbakar,gatal dan erupsi kulit.Ag-sulfadiazin merupakan obat pilihan untuk pencegahan infeksi pada luka bakar.Obat ini tersedia dalam bentuk krim (10 mg/g) yang diberikan 1-2 kali sehari.
c)      Mafenid
Mafenid (Mafenid Asetat) mengandung alfa-amino-p-toluen sulfonamide,digunakan secara topikal dalam bentuk krim (85 mg/g) untuk mengurangi jumlah koloni bakteri dan mencegah infeksi luka bakar oleh mikroba gram positif dan gram negatif.Obat ini tidak dianjurkan untuk pengobatan luka infeksi yang dalam.Kadang-kadang dapat terjadi superinfeksi oleh kandida.Pemberian kim 1-2 kali sehari dengan ketebalan 1-2 mm pada permukaan luka bakar.Sebelum pemberian obat,luka harus di bersihkan.Pengobatan di anjurkan sampai dilakukan pencangkokan kulit.
Mafenid cepat diabsorbsi melalui permukaan luka bakar,kadar puncak tercapai daalm 2-4 jam setelah pemberian.Efek samping berupa nyeri pada tempat pemberian,reaksi alergi dan kekeringan jaringan karena luka tidak dibalut dan metabolit obat menghambat enzim karbonat anhidrase.Urin dapat menjadi alkalis dan dapat terjadi asidosis metabolik yang berakibat sesak nafas dan hiperventilasi.
2.1.18  Sulfonamid Dengan Masa Kerja Panjang
A)    Sulfadoksin
Sulfadoksin adalah sulfonamid dengan masa kerja 7-9 hari.Obat ini digunakan dalam bentuk kombinasi tetap dengan pirimetamin (500 mg sulfadoksin dan 25 mg pirimetamin) untuk pencegahan dan pengobatan malaria akibat P.falciparum yang resisten terhadap klorokuin. Namun karena efek samping hebat seperti gejala Steven-Johnson yang kadang-kadang sampai menimbulkan kematian, obat hanya digunakan untuk pencegahan bila risiko resistensi malaria cukup tinggi. Kombinasi ini juga digunakan untuk pencegahan pneumonia (Pneumocystis carinii syndrome) pada pasien AIDS ( acquired immuno deficiency syndrome ), meskipun penggunaannya belum luas dan efek sampingnya mungkin hebat.
2.1.19  Efek Samping
Efek samping sering timbul (sekitar 5%) pada pasien yang mendapat sulfonamide. Reaksi ini dapat hebat dan kadang-kadang bersifat fatal. Karena itu pemakaiannya harus hati-hati. Bila mulai terlihat adanya gejala reaksi toksik atau sensitisasi, pemakaiannya secepat mungkin dihentikan. Mereka yang pernah menunjukan reaksi tersebut,untuk seterusnya tidak boleh diberi sulfonamid.
2.1.20  Gangguan Sistem Hematopoetik
Anemia hemolitik akut dapat disebabkan oleh reaksi alergi atau karena defisiensi aktivitas G6PD.Sulfadiazin jarang menimbulkan reaksi ini (0,05 %).Agranulositosis terjdi pada sekitar 0,1 % pasien yang mendapatkan sulfadiazine.Kebanyakan pasien sembuh kembali dalam beberapa minggu atau bulan setelah pemberiann sulfonamid dihentikan. Anemia aplastik, sangat jarang terjadi dan dapat bersifat fatal.Hal ini diduga berdasarkan efek mielotoksik langsung.
Trombositopenia berat,jarang terjadi pada pemakain sulfonamid. Trombositopenia ringan selintas lebih sering terjadi.Mekanisme terjadinya tidak diketahui. Eosinifilia,dapat terjadi dan bersifat reversibel.Kadang-kadang disertai dengan gejala hipersensivitas terhadap sulfonamid. Pada pasien dengan gangguan sumsum tulang pasien AIDS atau yang mendapat kemoterapi dengan mielosupreasan sering menimbulkan hambatan sumsum tulang yang bersifat reversibel.
2.1.21  Gangguan Saluran Kemih
Pemakaian sistemik dapat meimbulkan komplikasi pada saluran kemih,meskipun sekarang jarang terjadi karena telah banyak ditemukan sulfa yang lebih mudah larut seperti sulfisoksazol.Penyebab utama ialah pembentukan dan penumpukan kristal dalam ginjal, kaliks, pelvis, ureter atau kandug kemih, yang menyebabkan iritasi dan obstruksi. Anuria dan kematian dapat terjadi tanpa kristaluria atau hematuria; pada otopsi ditemukan nekrosis tubular dan angiitis nerkotikans.
Bahaya kristaluria dapat dikurangi dengan membasakan (alkalinisasi)urin atau minum air yang banyak sehingga produksi urin mencapai 1000-1500 ml sehari. Kombinasi beberapa jenis sulfa dapat pula mengurangi terjadinya kristaluria seperti telah diterangkan diatas. presipitasi sulfadiazin atau sulfamerazin tidak akan terjadi pada pH urin 7,15 atau lebih.
2.1.22  Reaksi Alergi
Gambaran hipersensitivitas pada kulit dan mukosa bervariasi, berupa kelainan morbiliform, skarlantitform , urtikariform, erispeloid, pemifigoid, purpura, petekia, juga timbul eritema nodosum,eritema multiformis tipe Stevens-Johnson,sindrom Behcet,dermatitis eksfoliativ dan fotosensitivitas.Kontak dermatitis sekarang jarang terjadi. Gejala umumnya timbul setelah minggu pertama pengobatan tetapi mungkin lebih dini pada pasien yang telah tersensitisasi. Kekerapan terjadinya reaksi kulit 1,5% dengan sulfadiazin dan 2% dengan sulfisoksazol.Suatu sindrom yang menyerupai penyakit serum (serum sickness)dapat terjadi beberapa hari setelah pengobatan dengan sulfonamide. Hipersensitivitas sistemik divus kadang-kadang pula terjadi. Sensitivitas hilang dapat terjadi antara bermacam-macam sulfa.
Demam obat terjadi pada pemakaian sulfonamid dan mungkin juga disebabkan oleh sentsitisasi ; terjada pada 3% kasus yang mendapat sulfitoksazol. Timbulnya demam tiba-tiba padahari ke tujuh sampai pada ke sepuluh pengobatan, dan dapat disertai sakit kepala, menggigil, rasa lemah, pruritus, dan erupsi kulit, yang semuanya bersifat refersibel. Demam obat ini perlu dibedakan dari demam yang menandai reaksi toksik berat misalnya agranulositosis dan anemia hemolitik akut.
Hepatitis yang terjadi pada 0,1 % pasien dapat merupakan efak tiksik atau akibat sensitisasi. Tanda-tanda seperti sakit kepala, mual, muntah, demam, hepatomegali, ikterus, dan gangguan sel hati tampak 3-5 hari setalah pangobatan, dapat berlanjut menjadi atrofi kuning akut dan kematian. Kerusakan pada hepar dapat memburuk walaupun obat dihentikan.
2.1.23  Contoh-contoh sulfonamida antara lain:
1.      Sulfacetamida (N-[(4-aminofenil)sulfonil]-asetamida);
2.      Sulfadiazin
3.      Sulfadimetoksin  (4-amino-N-(2,6-dimetoksi-4-pirimidinil)benzenesulfonamida)
4.      Sulfadimidin ( =sulfametazin:  4-amino-N-(4,6-dimetil-2-pirimidinil)benzenesulfonamida);
5.      Sulfaguanidin(4-amino-N-(aminoiminometil)benzenesulfonamide);
6.      Sulfametizol (4-amino-N-(5-metil-1,3,4-tiadiazol-2-il)benzenesulphonamide);
7.      Sulfametoksazol (4-amino-N-(5-metil-3-isoxazolil)benzenesulfonamida);
8.      sulfatiazol(4-amino-N-2-tiazolilbenzenesulfonamida); dan sebagainya.












BAB III
PENUTUP


3.1       Kesimpulan
1.      Sulfonamida adalah kemoterapeutik yang pertama digunakan secara sistemik untuk pengobatan dan pencegahan penyakit infeksi pada manusia. Sulfonamida merupakan kelompok obat penting pada penanganan infeksi saluran kemih (ISK).
2.      Klasifikasi Sediaan sulfonamide. Berdasarkan kecepatan absorpsi dan eksresinya, sulfonamide dibagi menjadi:
a)      Sulfonamid dengan absorpsi dan eksresi cepat, antara lain : sulfadiazine dan sulfisoksazol
b)      Sulfonamid yang hanya diabsorpsi sedikit bila diberikan per oral dank arena itu kerjanya dalam lumen usus, antara lain : ftalilsulfatiazol dan sulfasalazin.
c)      Sulfonamid yang terutama digunakan untuk pemberian topical antara lain : sulfasetamid, mefenid, dan Ag-sulfadiazin.
d)     Sulfonamid dengan masa kerja panjang, seperti sulfadoksin, absorpsinya cepat dan eksresinya lambat.
3.      Efek samping yang terjadi kerusakan pada sel-sel darah yang berupa agranulositosis, anemia aplastis dan hemolitik. Efek samping yang lain ialah reaksi alergi, gangguan system hematopoetik, dan gangguan pada saluran kemih.
4.      Desinfektan saluran kemih atau yang biasa di sebut Infeksi saluran kemih (ISK) hampir selalu diakibatkan oleh bakteri aerob dari flora usus. Penyebab infeksi bagian bawah atau cystitis ( radang kandung) adalah pertama kuman gram negative.










DAFTAR PUSTAKA

American Medical Association. Drug Evaluations Annual 1995. P. 1689.
Chambers HF. Antimycobacterial drugs. In: Katzung BG, ed. Basic & Clinical Pharmacology. 9thed.Singapore: McGraw-Hill;2004.p.782-791.
Petri WA. Jr. Chemotherapy of tuberculosis, Mycobacterium avium complex disease, and leprosy. In: Brunton LL, Lazo JS, Parker KL, eds. Goodman & Gilman’s the Pharmacological Basis of Therapeutics. 11th ed. New York; McGraw-Hill;2006.p.1203-23.
WHO/CDC/TB/2003,313. Treatment of tuberculosis; guidelines for national programmes, 3th edition. Revision approved by STAG, June 2004.
Ganiswara. 1995. “ Farmakologi dan Terapi”. Bagian Farmakologi. Fakultas Kedokteran. Universitas Indonesia. Jakarta.
Setiabudy, Rianto. 2007. Farmakologi dan Terapi Edisi 5. Fakultas Kedokteran. Universitas Indonesia. Jakarta.
Ummu dzakwan FARMASI. Dalam blog ummu dzakwan FARMASI dengan judul KEMOTERAPEUTIKA. diakses pada 3 juli 2014  









                                                                                                                            

0 komentar:

Posting Komentar

Diberdayakan oleh Blogger.